Alkisah pada abad ke-15, peristiwa besar tersirat di tanah Jawa. Konon, di abad itulah Cirebon dan Demak akhirnya bersatu. Ditandai sebuah resepsi pernikahan megah antara pembesar dua kerajaan tersebut, impian kejayaan hampir terwujud. Namun, seperti halnya peribahasa kuno mengatakan: semakin besar kekuasaan, semakin besar pula kelalaian pemegangnya. Tepat ketika iring-iringan pengantin memasuki perbatasan, baik Cirebon maupun Demak tak menyadari mereka tengah melenceng dari teritorial kerajaan. Kemeriahan membuat mereka lupa iring-iringan ternyata telah jauh memasuki kawasan kerajaan Talaga. Entah bagaimana peran Talaga kala itu dan situasi politik Cirebon di tanah Jawa, persoalan teritorial seolah bukan perkara yang bisa dimaklumi begitu saja. Tepat saat itu juga, Talaga menyatakan perang dengan Cirebon.
Sebagai jawaban dari pernyataan Talaga, Cirebon mengutus sejumlah pasukan ke medan perang. Pucuk pimpinan jatuh kepada Sunan Kalijaga yang pada masa itu pamornya sedang melejit. Kita tentu hafal betul sepak terjang sang Sunan terlebih namanya tercatat dalam sembilan tokoh penegak syariat Islam di tanah Cirebon yang dikenal khalayak sebagai Wali Sanga. Di pihak Talaga sendiri, Pucuk Umum yang kala itu sedang berkuasa, tak begitu saja mempercayakan urusan taktis dan kepemimpinan pasukannya pada orang sembarangan. Dia menunjuk putranya sendiri, Aria Sangling atau sekarang Majalengka mengenalnya sebagai sosok mitologi Raden Aria Salingsingan. Perang berlangsung lama dan berlarut-larut. Hingga pada puncaknya Talaga Jatuh ke tangan Cirebon pada 1528 Masehi. Seluruh keluarga kerajaan dan abdi dalem dibatasi pergerakannya, tidak diperkenankan meninggalkan area keraton Talaga.
Tak tahan menjadi tahanan, Pucuk Umum melarikan diri dari Keraton. Dia membawa serta Nyi Sekar Mandapa, adik kandungnya sekaligus bibi dari Aria Salingsingan. Sementara, Sang Pangeran Aria Salingsingan secara khusus diamankan Sunan Kalijaga ke wilayah Cirebon. Tepatnya, ke sebuah dusun bernama Lemah Mungkuk. Membaur bersama kasta menengah dan kasta rendahan.
Terpisah dari keluarganya, Aria salingsingan hidup menyendiri. Adapula versi yang menyebutkan dia tinggal bersama Sunan Kalijaga. Hubungan keduanya tak lagi terkesan sebagai penjaga dengan tawanan melainkan layaknya murid dengan guru spiritualnya. Hingga tiba pada suatu hari, salah satu pembesar Lemah Mungkuk menyelenggarakan sayembara. Tujuannya tak lain untuk mencari pendamping bagi putri mereka Dewi Ambarwati alias Imbar. Secara ajaib, Aria Salingsingan muncul sebagai pemenang. Maka sesuai perjanjian, dikawinkanlah dia dengan Dewi Ambarwati.
Sayangnya, usai upacara, Aria Salingsingan mendengar kabar bahwa Gagak Ambaran memerintahkannya untuk bertapa. Dia tahu betul Gagak Ambaran adalah nama lain ayahnya, Pucuk Umum. Tanpa menunda-nunda, Aria Salingsingan segera menuruti titah sang ayah. Dengan berat hati, dia minta diri kepada istrinya dan Sunan Kalijaga. Sesuai petunjuk ayahnya, Aria Salingsingan berkelana ke wilayah Tasikmalaya dan akhirnya sampai dan menetap di Alas Kasokandaya atau Hutan Kaso (sekarang Kasokandel). Kurang lebih 40 KM dari Cirebon.
Sementara Aria Salingsingan berkelana, di Cirebon Dewi Ambarwati melahirkan seorang bayi laki-laki. Sayang, kelahiran anak pertamanya urung disaksikan suaminya. Berbulan-bulan Dewi Ambarwati mengurusi bayinya seorang diri. Barulah ketika si jabang genap berusia tiga bulan Aria Salingsingan pulang. Tetapi bukannya kebahagiaan menghiasi raut paras Aria Salingsingan. Dia malah menuding istrinya berbuat tidak senonoh tanpa sepengetahuannya. Sebaliknya, Dewi Ambarwati membantah tudingan suaminya. Selain Aria Salingsingan putra Pucuk Umum, tak seorang pun laki-laki pernah menjamahnya apalagi sampai hamil dan melahirkan anak. Adu mulut pun terjadi hingga menyulut pertengkaran yang akhirnya bermuara pada sumpah serapah Aria Salingsingan: Anak ini harus dibuang!
Meski Aria Salingsingan tidak serta merta menuruti amarahnya begitu saja. Berkat petunjuk Sunan Kalijaga, si jabang dibawanya ke tepian sungai. Jikalah bayi itu bukan anaknya, dia akan terhanyut. Seandainya bayi itu darah dagingnya, arus sungai takkan menghanyutkannya. Disana, Aria salingsingan meletakan bayi itu ketengah sungai. Tapi apa yang terjadi? setiap kali Aria Salingsingan meletakan bayi itu, kala itu juga bayi itu mengapung ke tepian mendekatinya. Terus menerus demikian setiap ia mencoba. Akhirnya, yakinlah Aria Salingsingan bayi itu benar darah dagingnya. Dinamailah dia Jaka Kambang. Jaka diambil dari kata ‘Jajaka’ yang berarti laki-laki atau pemuda, dan Kambang diambil dari bahasa Sunda ‘ngambang’’ yang bermakna mengapung.
Tak lama setelah peristiwa di sungai tempo hari, datang lagi kabar dari Gagak Ambaran. Seperti titah yang pertama, Aria Salingsingan diminta bertapa untuk kedua kalinya. Tapi pertapaan kali ini, tak disebutkan rentang waktu dan tempatnya. Dia pun pamit kepada keluarganya.
Lima belas tahun berlalu dalam penantian Kambang. Dalam rentang waktu selama itu ayahnya belum juga pulang. Bahkan, dia sama sekali tak tahu seperti apa rupa ayahnya. Didorong rasa penasaran, suatu hari Kambang berpamitan kepada ibu dan bibinya. Dia bermaksud mencari ayahnya meskipun keterangan tentang sosok sang ayah yang didapatnya dari Dewi Ambarwati dan Nyi Sekar Mandapa tidak begitu memuaskan. Namun karena kepenasaranannya telah mencapai titik nadir, Kambang nekat mencari. Maka berangkatlah ia menyinggahi tiap-tiap daerah yang menurutnya mungkin dilalui sang ayah. Mengemis keterangan dari orang-orang yang ditemuinya hingga sampailah ia di hutan Dena Ageung atau Wana Ageung (sekarang Leuweung Gede). Disana dia menemui kakek nenek Mantaok yang konon pernah bertemu ayahnya. Dari pasangan sepuh itu dia mendapat pencerahan. Jika Kambang ingin menemui ayahnya, dia harus meneruskan perjalanan ke Barat. Ke Alas Kasokandaya, sebuah hutan yang dipenuhi pohon kaso sejauh mata memandang. Menurut cerita masyarakat setempat, disana tumbuh sebatang pohon beringin. Konon, disanalah Aria Salingsingan terakhir kali terlihat. Kambang pun melanjutkan perjalanannya.
Benar kata kakek nenek Mantaok, Alas Kasokandaya rupanya sebatas hutan kaso. Sebuah pohon beringin tumbuh rimbun disana. Kambang hanya diminta datang kesana. Kambang tak tahu harus ke mana lagi. Seiring kelelahan mendera tubuhnya, sembari berpikir bagaimana mencari petunjuk berikutnya, dia berteduh dibawah pohon itu sampai tak sadar dia tertidur pulas.
Dalam tidurnya dia bermimpi didatangi seseorang. Orang itu seolah-olah menyuruhnya pergi ke area timur hutan kaso dimana sebatang sungai kecil mengalir. Terkesiap, Kambang terbangun dari tidurnya. Sejenak merenung Kambang memikirkan mimpinya kalau-kalau itu sebuah petunjuk. Mengabaikan kesadarannya sendiri, Kambang melangkah sesuai petunjuk dari mimpinya tadi. Sungai kecil membelah hutan kaso di sebelah timur hutan. Dia tak melihat apapun disana sampai memutuskan berjalan ke utara menyusuri jalan setapak ditepian sungai.
Di salah satu sudut hutan, dia menemui sebatang beringin lagi. Beringin yang sama persis seperti tempatnya berteduh tadi. Diperhatikannya sejenak pohon itu. Benar saja, itu memang beringin yang sama. Seolah pohon itu berpindah tempat. Entah apa yang membuatnya kesal mendapati pengalaman ganjil itu, sebagian dari dirinya geram ingin menebang pohon didepannya. Dihunuslah goloknya, diayunkan. Ganjilnya lagi, sebelum sisi tajam goloknya menyentuh permukaan batang beringin, pohon itu mendadak raib. Tepatnya, berubah wujud menjadi sesosok lelaki gagah rupawan.
“Siapa sebenarnya kamu ini ?” ujar si lelaki rupawan dengan nada geram mendapati anak muda didepannya hendak mencelakainya.
“ Aku Jaka Kambang, anak Pangeran Aria Salingsingan putra Pucuk Ulum, pewaris Kerajaan Talaga !”.
“inikah Kambang yang kutinggalkan waktu kecil dulu ?” Air muka lelaki itu berubah haru “Ini aku, Nak. Aria Salingsingan putra Pucuk Ulum. Bapakmu !”.
Kambang terkesiap. Golok digenggamannya jatuh ke tanah. Lekas dia bersimpuh dihadapan lelaki itu. Bahagia bercampur haru, lelaki rupawan yang ternyata Aria Salingsingan yang telah berganti nama menjadi Pangeran Suci Raga itu balas merangkul Kambang. Prosesi bersimpunya kambang dihadapan Aria Salingsingan inilah yang akhirnya mengilhami tempat pertemuan mereka dengan nama Mandapa. Dalam Bahasa Sunda Mandap ka Bapa yang berarti bersimpuh kepada Bapak.
Semantara itu, di Keraton Cirebon, Sunan Kalijaga ditugaskan Sunan Gunung Jati untuk menjemput Nyi Sekar Mandapa. Sunan Kalijaga menugaskan lagi Syekh Durahman, seorang guru agama Islam yang memandikan para mualaf di Sumur Bado Alas Kondayama (sekarang wilayah Sinarjati). Tujuannya, untuk mengajak Bibi dari Aria Salingsingan itu memeluk Islam. Sayangnya, sampai dua kali Syekh Durahman mencari, Nyi Sekar selalu mengelak. Hingga pemegang Sumur Bado digantikan Nyi Mas Astrawinata pun Nyi Sekar Mandapa tak kunjung ditemukan. Kabar terakhir menyebutkan Nyi Sekar Mandapa sempat terlihat bercocok tanam di suatu tempat yang tanahnya berbatu (sekarang Baturuyuk).